TEKAPEKALTIM — Rencana relokasi Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, sampai saat ini riuh dan berdasarkan berita yang beredar bahkan terjadi penolakan besar-besaran.
Diketahui, Rempang Eco City merupakan proyek pembangunan garapan PT Makmur Elok Graha (MEG). Rencananya pulau Rempang ini akan dibangun menjadi kawasan industri, jasa, serta pariwisata.
Seperti dilansir dari tvonenews, awalmula polemik Pulau Rempang ini dimulai saat lahan seluas 7.572 hektare pulau ini menjadi target lahan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan dibangun menjadi pabrik kaca.
PT MEG pun berhasil meyakinkan Perusahaan terbesar asal Tiongkok, Xinyi International Investment Limited untuk berinvestasi senilai USD 11,5 miliar atau setara dengan Rp174 triliun sampai pada tahun 2080.
Kerjasama tersebut diperkirakan kelak menarik investasi sebesar Rp381 triliun, namun di balik rencana tersebut pemerintah dan investor harus berhadapan dengan warga penghuni pulau yang menolak pembangunan proyek ini.
Terkait dengan riuh tersebut, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia angkat bicara. Dirinya menegaskan akan mengatasi persoalan ini secara adil.
Menurutnya, investasi tersebut tengah dibicarakan bersama dengan warga setempat dan kini, Bahlil mengklaim menemukan solusi terbaik agar tidak direlokasi apalagi digusur.
“Dalam mengatasi persoalan di Pulau Rempang, kami berfokus pada penyelesaian yang adil bagi masyarakat. Saya ingin menyampaikan bahwa kami bersama warga telah menemui solusi terbaik dengan melakukan pergeseran warga ke area yang masih berada di Pulau Rempang, bukan relokasi atau penggusuran,” tulis Bahlil di akun instagram-nya, Rabu (27/9).
Bahlil juga menyebutkan bahwa kompensasi sudah disiapkan untuk warga. Katanya, hak-hak kultural warga Rempang diberi penghargaan.
“Pemerintah telah menyiapkan kompensasi untuk warga. Hak-hak rakyat tetap kami jaga, hak-hak kultural rakyat juga kami hargai. Ada uang tunggu Rp1,2 juta per orang, uang kontrakan Rp1,2 juta per KK. Jadi kalau 1 KK itu ada 4 orang, maka dia mendapatkan uang tunggu Rp4,8 juta dan uang kontrak rumah Rp1,2 juta, jadi sekitar Rp6 juta,” jelas Bahlil.
“Dengan kebijakan ini, kami berupaya menjembatani kepentingan semua pihak, khususnya masyarakat lokal,” tandasya. (*)
Komentar