TEKAPEKALTIM — Pintu peluang Gibran Rakabuming Raka menawarkan diri menjadi bakal calon presiden (cawapres) Prabowo Subianto akhirnya terbuka lebar.
Fakta itu usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan gugatan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terkait batas usia capres-cawapres.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” tandas Ketua MK, Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10) kemarin.
Pasal 169 huruf q undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum selengkapnya berbunyi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Namun putusan MK ini dianggap memuluskan langkah putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yaitu Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres di gelanggang politik Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto.
Menanggapi hal itu pakar Hukum Tata Negara (HTN) Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK tersebut merusak wajah Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
“Kok bisa tiba-tiba konflik kepentingan dilanggengkan, kok bisa tiba-tiba konsistensi open legal policy (kebijakan hukum terbuka) berubah, kok tiba-tiba (hakim) yang awalnya konsisten menolak pengalaman tiba-tiba berubah,” kata Zaenal saat diwawancarai oleh TVone, Senin (16/10).
“Dan kalau dibaca empat dissenting opinion (perbedaan pendapat hakim) itu lebih banyak kemarahan yang memperlihatkan bahwa putusan MK ini merusak wajah Mahkamah Konstitusi itu sendiri,” tambahnya.
Bahkan kata Zainal dalam dissenting opinion Hakim Saldi Isra dengan jelas mengatakan putusan MK ini mempertaruhkan marwah MK.
“Ini memperlihatkan betapa MK sebenarnya bermain-main. Kalau baca lagi dissenting opinion (Hakim) Wahidudin Adams, dia menceritakan bahwa dari sini kelihatan sebenarnya permohonan ini berkaitan dengan indepedensi kekuasaan kehakiman di hadapan politik,” tutur Zaenal.
Menurut dia, tampak terlihat jelas jika putusan MK terkait usia cawapres ini lahir dari pertarungan politik dan lahir dari cawe-cawe politik.
Benarkah putusan MK ini untungkan Gibran?
Awalnya Zainal mengatakan jika MK itu konsisten dengan mengatakan bahwa putusan ini merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka).
Kemudian terjadi pelebaran makna ke arah jabatan penyelenggara negara, yang juga menurutnya sedikit bermasalah lantaran bisa mereduksi usia.
“Memang di putusan akhir ini yang tiba-tiba aneh, dan dugaan saya, bukan sekadar dugaan ya, tolong dibaca baik-baik dissenting opinion,” katanya.
Menurutnya ada empat perbedaan pendapat hakim yang menarik, mulai dari Hakim Wahidudin Adams, Hakim Saldi Isra, Hakim Arif Hidayat, dan Hakim Suhartoyo.
“Itu sebenarnya bukan menceritakan kelemehan rasio legis dari putusannya, sebenarnya rasio legis dari putusan hari ini, itu nyaris tidak ada, nyaris tidak benar,” tegas ketua Departemen HTN UGM itu.
“Nah di dissenting opinion hari ini sebenarnya yang terjadi pun lebih banyak marah-marah. Jadi tolong dibaca baik-baik,” tambahnya.
Pada dissenting opinion Hakim Saldi Isra dan Hakim Arif Hidayat dijelaskan ada dua gelombang putusan MK. Pertama MK mengambil penolakan, namun tiba-tiba ada permohonan baru yang mengubah konstelasi itu.
“Dan hakim yang dulu konsisten di gelombang permohonan pertama, itu tiba-tiba di gelombang permohonan kedua berubah. Permohonan yang dibacakan tadi itukan tertanggalnya, teregistrasinya 13 September itu gelombang terakhir,” katanya.
“Tiba-tiba di putusan terakhir itulah Hakim Anwar Usman masuk, putusan permohonan terakhir itulah yang memention secara langsung nama Gibran, yang lainnya tidak ada yang memention nama Gibran. Jadi kok bisa di permohonan lain yang tidak ada nama ponakan (Gibran) Anwar Usman tidak masuk, tapi tiba-tiba di permohonan yang ada nama Gibran, Anwar Usman malah masuk,” tambahnya.
Zaenal juga bilang, “Bahkan kalau kita lihat kronologinya itu diceritakan oleh (Hakim) Arif Hidayat tiba-tiba ada permohonan baru masuk dan permohonan inilah yang mengubah pendapat hakim yang awalnya keukeuh sama legal policy tiba-tiba berubah.”
Di samping itu, seperti yang ditandaskan Zaenal dalam instagram pribadinya, dia menyatakan bahwa palu hakim MK sudah patah di hadapan politik dan dipastikan merusak banyak hal.
“Secara ketatanegaraan, mudah untuk mengatakan bahwa konsekuensi putusan MK adalah anak Presiden mendapatkan karpet mewah untuk menjadi capres dan/atau cawapres. Mau maju atau tidak, tentu saja akan jadi pilihan baginya. Namun, bukan itu sesungguhnya persoalan utama yang ada. Persoalannya adalah putusan ini berpotensi merusak begitu banyak hal,” tulis Zaenal, Selasa (17/10).
“Merusak open legal policy secara serampangan, membiarkan konflik kepentingan disidangkan dalam sebuah perkara di MK, membiarkan gejala yuristokrasi dilakukan oleh MK dengan memutuskan hal yang seharusnya “haram” dilakukan lembaga seperti MK,” ujarnya.
“Empat hakim yang memutus dengan cara dissenting opinion bukanlah menunjukkan legal opinion yang berbeda dengan putusan yang ada di atasnya. Oleh karena itu, nyaris tidak ada alasan hukum dan konstitusional yang jelas untuk mengabulkan permohonan. Dissenting opinion itu lebih tepatnya adalah cerminan betapa rusak wajah MK dalam putusan kali ini. Palu hakim telah patah,” tandas Zarnal. (*)
Komentar