TEKAPEKALTIM — Tak banyak yang tahu, ternyata Kutai Barat memiliki destinasi wisata yang telah berusia 200 tahun.
Ya, Inilah salah satu warisan dari nenek moyang Suku Dayak Benuaq yang hingga kini masih bisa dilihat keutuhannya, meskipun sudah mengalami perbaikan di beberapa sisi.
Ada sebuah cerita yang sangat menarik tentang Lamin Tolan yang hingga kini masih utuh padahal sudah mengalami penjajahan Belanda dan Jepang bertahun-tahun.
Ternyata salah satu wilayah di Kabupaten Kutai Barat yang tak mampu dikuasai penjajah adalah di Kampung Lambing, Kecamatan Muara Lawa. Suku Dayak Benuaq masih mampu mempertahankan wilayahnya dari desakan para penjajah.
Lou Tolan atau Lamin Tolan merupakan sebuah bukti akan kekayaan arsitektur budaya suku Dayak yang masih bertahan hingga sekarang tetap mempertahankan unsur kearifan lokal di setiap jengkal bangunannya secara tradisional.
Rumah panjang suku Dayak Benuaq yang terletak di Kampung Lambing, Kecamatan Muara Lawa, Kutai Barat ini merupakan warisan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan karena menjadi suatu kebanggaan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Lou merupakan sebutan lain lamin atau rumah panjang dalam sub etnis Dayak Benuaq. Lou Tolan memiliki keunikan dari segi arsitektur yang masih mempertahankan bentuk aslinya hingga sekarang seperti dulu.
Secara konstruksi lou ini dibangun menggunakan bahan-bahan yang dikerjakan manual dan tradisional. Mulai dari tiang dan penyangga serta atap terbuat dari kayu ulin, kayu khas Kalimantan yang terkenal awet dan mahal harganya.
Lalu lantainya terbuat dari rotan segah batu, dindingnya dari kulit kayu jangkau, bahkan untuk bahan pengikat dari atap, dinding dan lantai tidak menggunakan paku melainkan rotan. Semua serba disediakan oleh alam.
Salah satu bukti kekayaan budaya di Kutai Barat adalah rumah panjang. Lou Adat Tolan merupakan sebuah bangunan yang memanjang ke samping hingga puluhan meter berjenis panggung. Di dalamnya terdapat aula panjang dan beberapa bilik yang menjadi tempat tinggal beberapa kepala keluarga suku Dayak secara bersama-sama.
Lou Tolan sendiri diperkirakan berumur 200-an tahun di mana pendiri dan pemimpin pertama adalah Kakah Narik atau Balotn.
Kemudian dilanjutkan oleh Kakah Gaheq atau Ngilik. Nama Tolan sendiri diambil dari nama salah satu budak Kakah Narik di masa itu. Sayangnya semenjak tahun 2015 setelah pemugaran oleh pemerintah, Lou ini sudah tidak dihuni lagi sebagai tempat tinggal karena berbagai sebab.
“Terakhir kali kami menempati bilik pada 2015, kemudian pindah di rumah permanen tepat di samping Lou Tolan,” ungkap Ongkel salah satu pewaris bilik di Lou Tolan yang masih sering merawat dan menjaganya.
Di dalam lou yang panjangnya 51 meter ini terdapat 5 bilik yang semua memiliki pewaris dari keturunan pendiri lou, namun semua tampak kosong tak berpenghuni hanya bilik milik Ongkel yang tepat berada di tengah lou. Masih tampak ada beberapa barang karena dia masih sering mengunjungi, termasuk barang antik berupa beberapa guci yang tersusun rapi di sudut dinding dengan berbagai ukuran. Menurutnya setiap guci memiliki fungsi dan sejarah tersendiri.
Ketika wisatawan ingin memasuki Lou Tolan, terlebih dulu menaiki tangga dari kayu ulin dengan tinggi sekitar dua meter.
Kemudian harus melewati pintu lou dengan sedikit membungkuk untuk seukuran orang dewasa karena ukurannya yang agak rendah. Hal ini bukan tanpa alasan tapi memiliki filosofi yang dalam. Agar kita memberikan hormat kepada pemilik atau penghuni lou.
Di wilayah ini berdiri dua lou, terletak sebelah timur dari Lou Tolan ini berdiri bangunan lamin yang tidak kalah uniknya namun ukurannya lebih pendek, lamin milik pribadi salah satu keluarga di Kampung Lambing, warga sekitar menyebutnya Lou Tolan Bawah.
Tak jauh dari Lou Tolan terdapat pemakaman dan kuburan tua seperti Tempelaq, Lungun, dan Klereng. Merupakan sebuah wadah yang terbuat dari batang kayu ulin yang diukir dan dibentuk sedemikian rupa untuk tulang-belulang atau jasad leluhur dengan ritual adat khusus Dayak Benuaq.
Tepat di sisi selatan Lou Tolan terdapat Danau Tolan yang konon ratusan tahun silam danau ini merupakan anak sungai Kedang Pahu yang digunakan masyarakat Lou Tolan untuk beraktivitas sehari-hari.
Dulu sungai ini digunakan sebagai jalur transportasi air, mencari ikan, mandi, cucian dan lainnya. Namun, karena faktor alam menyebabkan sungai ini menjadi buntu dan tertutup sehingga menjadi danau dengan arus yang tenang dan sebagian besar permukaan airnya tertutup oleh tumbuhan.
Bangunan Lou Tolan sendiri telah terdaftar dalam inventarisasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur tahun 2012 dan diperkuat dengan Peraturan Bupati Kutai Barat Nomor 08 Tahun 2013 tentang Penetapan Kawasan Situs Benda Cagar Budaya dan Situs Peninggalan Budaya dengan nama Lamin Adat Tolan.
Akses jalan darat untuk menuju Lou Tolan terbilang cukup bagus. Jalan semenisasi berjarak sekitar 1 km dari jalan poros Trans Kaltim menuju lou memudahkan perjalanan. Butuh waktu sekitar 1-2 jam perjalanan dari Sendawar, ibu kota Kutai Barat dan sekitar 6-7 jam waktu tempuh dari Samarinda, ibu kota Kaltim untuk sampai di Lou Tolan.
Lou Tolan adalah salah satu bangunan kebanggaan masyarakat adat Dayak Benuaq dan Kabupaten Kutai Barat tentunya dengan kekayaan arsitektur budaya yang masih bertahan dan terjaga hingga sekarang. Perjalanan wisata ke Lou Tolan ini banyak mempelajari bukti sejarah tentang teknologi arsitektur tradisional suku Dayak di masa silam. (tqm/adv/dispar)
Komentar