Penulis: Syamsuddin Juhran
(Gayam Akademi)
TEKAPEKALTIM — Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga konstitusi menuai sorotan atas palu amar yang diketuk ketua Hakim MK untuk menetapkan gugataan atas perkara batas usia Capres dan Cawapres. Hal ini tentu membuat semakin riuh pemilu di tahun 2024. Gugatan yang dilayangkan Partai Solidaritas (PSI) agar syarat batas usia capres-cawapres minimal berusia 40 tahun (th) menjadi usia 35th.
MK ingin bermain dengan dua wajah, wajah pertama MK ingin terlihat sebagai lembaga yang origin dengan tidak mengabulkan gugatan PSI atas UU No.7 tentang Pemilu pasal 169 huruf q. Sedangkan wajah kedua MK menampakkan wajah politis, dengan hasil putusan perkara yang cenderung retorik dan terendus cawe-cawe.
Kita bisa membaca hasil putusan MK yang bermain aman dengan retorika. Mirip-mirip dengan sofisme pada peradaban Yunani awal, yakni cendikiawan yang memiliki kemampuan retorika untuk mengelabui. Tidak mengherankan jika wakil ketua MK Saldi Isra mengungkapkan kekecewaannya atas keputusan perkara gugatan.
Memang benar gugatan PSI tidak di kabulkan untuk ambang batas usia 35th dan syarat cawapres tetap minimal berusia 40th, tetapi MK dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia capres dan cawapres memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40th mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah.
Hal tersebut menjadi dugaan modus operandi adanya cawe-cawe yang dilakukan oleh pemegang kekuasan. Jalan politik menuju 2024 semakin terlihat pragmatis, ketimbang adanya pertarungan ide dan gagasan. Fenomena masuknya Kaesang sebagai anak presiden ke dalam PSI dan menjadi ketua umum juga memperlihatkan semakin jelas adanya kekuatan politik untuk menjadi ‘King Maker’ dalam pertarungan politik 2024.
Kita tidak melihat semacam pertarungan ideologi antara partai politik. Partai politik fokus membicarakan kalkulasi elektoral daripada membicarakan ideologi perjuangan masing-masing partai. Bacepres hanya jualan visi keberlanjutan dari presiden Jokowi, tetapi manifesto dari keberlanjutan yang mereka maksud pun tidak substansial.
Apakah keberlanjutan yang mereka maksud hanya keberlanjutan untuk tetap mempertahankan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), atau hal lainnya? Ini pun dilematis jika dijadikan sebagai jualan politik, sebab bacapres tidak memiliki visi baru dalam menahkodai Republik Indonesia. Selain itu bacapres ataupun presiden mendatang akan terkena efek beban masa lalu, sebab hampir di semua hasil survey menunjukkan tingkat capaian tertinggi kinerja Presiden Jokowi sekitar 80% (LSI). Namun ada juga bacapres lain yang mengusung ide perubahan.
Akan tetapi ide tersebut juga belum terlihat proporsional, apa yang mereka ingin rubah? Tidak melanjutkan IKN? Tentu ini menjadi beban bagi bacapres baik yang mengusung ide perubahan dan keberlanjutan jika tidak memiliki pencapaian kinerja dalam mengelola negara. Kurun 10th terakhir, publik telah diperlihatkan kinerja Presiden Jokowi. Hal ini membuat mudah bagi publik dalam menilai bacapres yang ada.
Selain itu, secara psikologis dari fenomena perpolitikan nasional yang mengemuka nampaknya ada syndrome ‘Anxiety Disorder’ (rasa khawatir yang berlebih) pada diri Jokowi pasca tidak lagi menjadi presiden RI sehingga, ia berupaya agar apa yang telah dikerjakan perlu sekiranya dilanjutkan. Akibat dari kekhawatiran yang berlebih ini Jokowi memperlihatkan permainan politiknya yang tetap tenang tapi perlahan memegang kendali perpolitikan dan membuat semakin kaburnya substansi politik.
Kekacauan ini bermuara ketika di tetapkannya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam pemilu secara langsung. Presidential Treshold 20% yang diharapakan dapat memberikan efektivitas penyelenggaran pemerintah, kini menjadi instrument politik untuk memenangkan kekuasaan. Sehingga partai politik saling bongkar pasang koalisi agar partainya dapat ikut dalam mengusulkan capres dan cawapres.
Hal ini sangat di sayangkan, presidential treshold hanya menjadi drama politik yang tidak rasional, koalisi saling sikut dan saling mengkhianati. Namun dalam pikiran pragmatisme, hal ini telah menjadi sesuatu yang biasa dan wajar karena politik memang begitu adanya saling menggunakan cara apapun agar tujuan dan kepetingan bisa di menangkan. Gaya politik machiavellian, memang masih laris digunakan elit politisi kita.
Kita bisa lihat bagaimana partai politik saling bermanuver dalam menentukan koalisi agar tercapai syarat ambang batas 20% dari suara perolehan legislatif nasional. PKB dan PKS yang tidak sejalan dalam pandangan perjuangan selama perpolitikan di Indonesia, kini bisa berkoalisi di pemilu 2024.
Partai politik sibuk berebut suara elektoral Jawa Timur atau basis Nahdlatul ulama agar menggapai kemenangan pemilu di tahun 2024, walhasil atas manuver PKB dan Cak Imin berhasil mencuri star untuk merebut suara Jawa Timur dengan bergabung bersama Anis Baswedan sebagai pasangan Capres dan Cawapres yang pertamakali di antara bacapres lainnya.
Situasi seperti ini semestinya tidak bisa berlanjut. Di era kemajuan teknologi dan saintifik seharusnya dapat merubah cara berpikir perpolitikan kita bukan malah sebaliknya semakin destruktif. Politik kita belum berhasil menjadi metodelogi instrument perjuangan tapi menjadi instrument elitis dan kekuasan praktis yang hanya memperdulikan kemenangan ketimbang kebijakan yang proporsiona bagi rakyat.
Publik berharap trias political kita bertanggung jawab penuh atas kepemimpinan yang dihasilkan dari proses pemilu yang memakan anggaran 76 triliun rupiah. Lembaga-lembaga independen seperti MK seyogyanya tidak terlibat dalam permainan politik seperti yang diungkapkan Zainal Arifin Muchtar bahwa Palu MK telah patah.
Kita berharap penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu bukan saja menjadi organitation commite dan pengawas tetapi bertanggung jawab penuh atas agar terdapat pemimpin yang bukan hasil dari cawe-cawe. (*)
Komentar